Rumah adat MinangKabau
Rumah Gadang
Rumah Gadang Minangkabau merupakan rumah tradisional hasil kebudayaan suatu suku bangsa yang hidup di daerah Bukit Barisan di sepanjang pantai barat Pulau Sumatera bagian tengah. Sebagaimana halnya rumah di daerah katulistiwa, rumah gadang dibangun di atas tiang (panggung), mempunyai kolong yang tinggi. Atapnya yang lancip merupakan arsitektur yang khas yang membedakannya dengan bangunan suku bangsa lain di daerah garis katulistiwa itu.
Sebagai suatu kreatifitas kebudayaan suku bangsa, ia dinyatakan dengan rasa bangga, dengan bahasa yang liris, serta metafora yang indah dan kaya. Juga ia diucapkan dengan gaya yang beralun pada pidato dalam situasi yang tepat.
Bunyinya ialah sebagai berikut :
Rumah gadang sambilan ruang,salanja kudo balari, sapakiak budak maimbau,sajariah kubin malayang. Gonjongnyo rabuang mambasuik, antiang-antiangnyo disemba alang.
Parabuangnyo si ula gerang, batatah timah putiah, barasuak tareh limpato, Cucurannyo alang babega, saga tasusun bak bada mudiak.
Parannyo si ula gerang batata aia ameh, salo-manyalo aia perak. Jariaunyo puyuah balari, indah sungguah dipandang mato, tagamba dalam sanubari.
Dindiang ari dilanja paneh. Tiang panjang si maharajo lelo, tiang pangiriang mantari dalapan, tiang dalapan, tiang tapi panagua jamu, tiang dalam puti bakabuang.
Ukiran tonggak jadi ukuran, batatah aia ameh, disapuah jo tanah kawi, kamilau mato mamandang.
dama tirih bintang kemarau. Batu tala pakan camin talayang. cibuak mariau baru sudah. Pananjua parian bapantua.
Halaman kasiak tabantang, pasia lumek bagai ditintiang.Pakarangan bapaga hiduik, pudiang ameh paga lua, pudiang perak paga dalam, batang kamuniang pautan kudo,Lasuangnyo batu balariak, alunyo linpato bulek, limau manih sandarannyo.
Gadih manumbuak jolong gadang, ayam mancangkua jolong turun, lah kanyang baru disiuahkan, Jo panggalan sirantiah dolai, ujuangnyo dibari bajambua suto.
Ado pulo bakolam ikan, aianyo bagai mato kuciang, lumpua tido lumuikpun tido, ikan sapek babayangan, ikan gariang jinak-jinak, ikan puyu barandai ameh.
Rangkiangnyo tujuah sajaja, di tangah si tinjau lauik,panjapuik dagang lalu, paninjau pancalang masuak, di kanan si bayau bayau, lumbuang makan patang pagi, di kiri si tangguang lapa, tampek si miskin salang tenggang, panolong urang kampuang di musim lapa gantuang tungku, lumbuang Kaciak salo nanyalo, tampek manyimpan padi abuan.
Maksudnya :
Rumah gadang sembilan ruang, selanjar kuda berlari, sepekik budak menghimbau, sepuas limpato makan, sejerih kubin melayang. Gonjongnya rebung membersit, anting-anting disambar elang.
Perabungnya si ular gerang, bertatah timah putih, berasuk teras limpato. Cucurannya elang berbegar, sagar tersusun bagai badar mudik.
Parannya bak si bianglala, bertatah air emas, sela-menyela air perak. Jeriaunya puyuh berlari,indah sungguh dipandang mata, tergambar dalam sanubari.
Dinding ari dilanjar panas. Tiang panjang si maharajalela, tiang pengiring menteri delapan, tiang tepi penegur tamu, tiang dalam putri berkabung.
Ukiran tonggak jadi ukuran, bertatah air emas,disepuh dengan tanah kawi,kemilau mata memandang.
Damar tiris bintang kemarau. Batu telapakan cermin terlayang, Cibuk meriau baru sudah, penanjur perian ber pantul.
Halaman kersik terbentang, pasir lumat bagai ditinting. Pekarangan berpagar hidup, puding emas pagar luar, puding merah pagar dalam.Pohon kemuning pautan kuda. Lesungnya batu berlari,alunya limpato bulat.Limau manis sandarannya.
Gadis menumbuk jolong gadang, ayam mencangkur jolong turun, sudah kenyang baru dihalaukan, dengan galah sirantih dolai, ujungnya diberi berjambul sutera.
Ada pula kolam ikan, airnya bagai mata kucing, berlumpur tidak berlumut pun tidak, ikan sepat berlayangan, ikan garing jinak-jinak, ikan puyu beradai emas.
Rangkiangnya tujuh sejajar, di tengah sitinjau laut, penjemput dagang lalu, peninjau pencalang masuk, di kanan si bayau-bayau, lumbung makan petang pagi, di kiri si tanggung lapar, tempat si miskin selang tenggang,penolong orang kampung, di musim lapar gantung tungku, lumbung kecil sela-menyela, tempat menyimpan padi abuan.
Arsitektur
Masyarakat Minangkabau sebagai suku bangsa yang nenganut falsafah “alam takambang jadi guru”, mereka menyelaraskan kehidupan pada susunan alam yang harmonis tetapi juga dinamis, sehingga kehidupannya menganut teori dialektis, yang mereka sebut “bakarano bakajadian” (bersebab dan berakibat) yang menimbulkan berbagai pertentangan dan keseimbangan. Buah karyanya yang menumental seperti rumah gadang itu pun mengandung rumusan falsafah itu. Bentuk dasarnya, rumah gadang itu persegi empat yang tidak simetris yang mengembang ke atas. Atapnya melengkung tajam seperti bentuk tanduk kerbau, sedangkan lengkung badan rumah Iandai seperti badan kapal. Bentuk badan rumah gadang yang segi empat yang membesar ke atas (trapesium terbalik) sisinya melengkung kedalam atau rendah di bagian tengah, secara estetika merupakan komposisi yang dinamis. Jika dilihat pula dari sebelah sisi bangunan (penampang), maka segi empat yang membesar ke atas ditutup oleh bentuk segi tiga yang juga sisi segi tiga itu melengkung ke arah dalam, semuanya membentuk suatu keseimbangan estetika yang sesuai dengan ajaran hidup mereka. Sebagai suku bangsa yang menganut falsafah alam, garis dan bentuk rumah gadangnya kelihatan serasi dengan bentuk alam Bukit Barisan yang bagian puncaknya bergaris lengkung yang meninggi pada bagian tengahnya serta garis lerengnya melengkung dan mengembang ke bawah dengan bentuk bersegi tiga pula. Jadi, garis alam Bukit Barisan dan garis rumah gadang merupakan garis-garis yang berlawanan, tetapi merupakan komposisi yang harmonis jika dilihat secara estetika. Jika dilihat dan segi fungsinya, garis-garis rumah gadang menunjukkan penyesuaian dengan alam tropis. Atapnya yang lancip berguna untuk membebaskan endapan air pada ijuk yang berlapis-lapis itu, sehingga air hujan yang betapa pun sifat curahannya akan meluncur cepat pada atapnya. Bangun rumah yang membesar ke atas, yang mereka sebut silek, membebaskannya dan terpaan tampias. Kolongnya yang tinggi memberikan hawa yang segar, terutama pada musim panas. Di samping itu rumah gadang dibangun berjajaran menurut arah mata angin dari utara ke selatan guna membebaskannya dari panas matahari serta terpaan angin. Jika dilihat secara keseluruhan, arsitektur rumah gadang itu dibangun menurut syarat-syarat estetika dan fungsi yang sesuai dengan kodrat atau yang mengandung nilai-nilai kesatuan, kelarasan, keseimbangan, dan kesetangkupan dalam keutuhannya yang padu.
Ragam Rumah Gadang
Rumah gadang mempunyai nama yang beraneka ragam menurut bentuk, ukuran, serta gaya kelarasan dan gaya luhak. Menurut bentuknya, ia lazim pula disebut rumah adat, rumah gonjong atau rumah bagonjong (rumah bergonjong), karena bentuk atapnya yang bergonjong runcing menjulang. Jika menurut ukurannya, ia tergantung pada jumlah lanjarnya. Lanjar ialah ruas dari depan ke belakang. Sedangkan ruangan yang berjajar dari kiri ke kanan disebut ruang. Rumah yang berlanjar dua dinamakan lipek pandan (lipat pandan). Umumnya lipek pandan memakai dua gonjong. Rumah yang berlanjar tiga disebut balah bubuang (belah bubung). Atapnya bergonjong empat. Sedangkan yang berlanjar empat disebut gajah maharam (gajah terbenam). Lazimnya gajah maharam memakai gonjong enam atau lebih. Menurut gaya kelarasan, rumah gadang aliran Koto Piliang disebut sitinjau lauik. Kedua ujung rumah diberi beranjung, yakni sebuah ruangan kecil yang lantainya lebih tinggi. Karena beranjung itu, ia disebut juga rumah baanjuang (rumah barpanggung). Sedangkan rumah dan aliran Bodi Caniago lazimnya disebut rumah gadang. Bangunannya tidak beranjung atau berserambi sebagai mana rumah dan aliran Koto Piliang, seperti halnya yang terdapat di Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Koto.
Bodicaniago Surambi papek (Ragam Luhak Agam)
Bodicaniago Rajo Babandiang (Ragam Luhak Limo Puluah Koto)
Koto Piliang Sitingjau Lauik (Ragam Luhak Tanah Datar)
Rumah kaum yang tidak termasuk aliran keduanya, seperti yang tertera dalam kisah Tambo bahwa ada kaum yang tidak di bawah pimpinan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang, yakni daRI aliran Datuk Nan Sakelap Dunia di wilayah Lima Kaum, memakai hukumnya sendiri.
Kedudukan kaum ini seperti diungkapkan pantun sebagai berikut :
Pisang si kalek-kalek utan, Pisang tambatu nan bagatah. Koto Piliang inyo bukan, Bodi Caniago inyo antah.
Maksudnya :
Pisang si kalek-kalek hutan, Pisang tambatu yang bergetah, Koto Piliang mereka bukan Bodi Caniago mereka antah.
Rumah gadang kaum inii menurut tipe rumah gadang Koto Piliang, yaitu memakai anjung pada kedua ujung rumahnya. Sedangkan sistem pemerintahannya menurut aliran Bodi Caniago. Rumah gadang dari tuan gadang di Batipuh yang bergelar Harimau Campo Koto Piliang yang bertugas sebagai panglima, disebut rumah batingkok (rumah bertingkap). Tingkapnya terletak di tengah puncak atap. Mungkin tingkap itu digunakan sebagai tempat mengintip agar panglima dapat menyiapkan kewaspadaannya.
Rumah Batingkok (Bertingkat) yang pernah ada di Baso pada abad yang lalu
Rumah di daerah Cupak dan Salayo, di Luhak Kubuang Tigo Baleh yang merupakan wilayah kekuasaan raja, disebut rumah basurambi (rumah berserambi). Bagian depannya diberi serambi sebagai tempat penghulu menerima tamu yang berurusan dengannya.
Jika menurut gaya luhak, tiap luhak mempunyai gaya dengan namanya yang tersendiri. Rumah gadang Luhak Tanah Datar dinamakan gajah maharam karena besarnya. Sedangkan modelnya rumah baanjuang karena luhak itu menganut aliran Kelarasan Koto Piliang. Rumah gadang Luhak Agam dinamakan surambi papek (serambi pepat) yang bentuknya bagai dipepat pada kedua belah ujungnya. Sedangkan rumah gadang Luhak Lima Puluh Koto dinamakan rajo babandiang (raja berbanding) yang bentuknya seperti rumah Luhak Tanah Datar yang tidak beranjung).
Pada umumnya rumah gadang itu mempunyai satu tangga, yang terletak di bagian depan. Letak tangga rumah gadang rajo babandiang dari Luhak Lima Puluah Koto di belakang. Letak tangga rumah gadang surambi papek dari Luhak Agam di depan sebelah kiri antara dapur dan rumah. Rumah gadang si tinjau lauik atau rumah baanjuang dan tipe Koto Piiang mempunyai tangga di depan dan di belakang yang letaknya di tengah. Rumah gadang yang dibangun baru melazimkan letak tangganya di depan dan di bagian tengah.
Dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet pada dinding. Tangga rumah gadang rajo babandiang terletak antara bagian dapur dan rumah. Dapur rumah gadang surambi papek, dibangun terpisah oleh suatu jalan untuk keluar masuk melalui tangga rumah.
Fungsi Rumah Gadang
Rumah gadang dikatakan gadang (besar) bukan karena fisiknya yang besar, melainkan karena fungsinya. Dalam nyanyian atau pidato dilukiskan juga fungsi rumah gadang yang antara lain sebagai berikut.
Rumah gadang basa batuah, Tiang banamo kato hakikaik, Pintunyo basamo dalia kiasannya, Banduanyo sambah-manyambah, Bajanjang naiak batanggo turun, Dindiangnyo panutuik malu, Biliaknyo aluang bunian.
Maksudnya :
Rumah gadang besar bertuah, Tiangnya bernama kata hakikat, Pintunya bernama dalil kiasan, Bendulnya sembah-menyembah, Berjenjang naik, bertangga turun, Dindingnya penutup malu, Biliknya alung bunian.
Selain sebagai tempat kediaman keluarga, fungsi rumah gadang juga sebagai lambang kehadiran suatu kaum serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan, seperti tempat bermufakat dan melaksanakan berbagai upacara. Bahkan juga sebagai tempat merawat anggota keluarga yang sakit.
Sebagai tempat tinggal bersama, rumah gadang mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Setiap perempuan yang bersuami memperoleh sebuah kamar. Perempuan yang termuda memperoleh kamar yang terujung. Pada gilirannya ia akan berpindah ke tengah jika seorang gadis memperoleh suami pula. Perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Sedangkan gadis remaja memperoleh kamar bersama pada ujung yang lain. Sedangkan laki-laki tua, duda, dan bujangan tidur di surau milik kaumnya masing-masing. Penempatan pasangan suami istri baru di kamar yang terujung, ialah agar suasana mereka tidak terganggu kesibukan dalam rumah. Demikian pula menempatkan perempuan tua dan anak-anak pada suatu kamar dekat dapur ialah karena keadaan fisiknya yang memerlukan untuk turun naik rumah pada malam hari.
Sebagai tempat bermufakatan, rumah gadang merupakan bangunan pusat dari seluruh anggota kaum dalam membicarakan masalah mereka bersama.
Sebagai tempat melaksanakan upacara, rumah gadang menjadi penting dalam meletakkan tingkat martabat mereka pada tempat yang semestinya. Di sanalah dilakukan penobatan penghulu. Di sanalah tempat pusat perjamuan penting untuk berbagai keperluan dalam menghadapi orang lain dan tempat penghulu menanti tamu-tamu yang mereka hormati.
Sebagai tempat merawat keluarga, rumah gadang berperan pula sebagai rumah sakit setiap laki-laki yang menjadi keluarga mereka. Seorang laki-laki yang diperkirakan ajalnya akan sampai akan dibawa ke rumah gadang atau ke rumah tempat ia dilahirkan. Dan rumah itulah ia akan dilepas ke pandam pekuburan bila ia meninggal. Hal ini akan menjadi sangat berfaedah, apabila laki-laki itu mempunyai istri lebih dari seorang, sehingga terhindarlah perseng ketaan antara istri-istrinya.
Umumnya rumah gadang didiami nenek, ibu, dan anak-anak perempuan. Bila rumah itu telah sempit, rumah lain akan dibangun di sebelahnya. Andai kata rumah yang akan dibangun itu bukan rumah gadang, maka lokasinya di tempat yang lain yang tidak sederetan dengan rumah gadang.
Fungsi Bagian Rumah
Rumah gadang terbagi atas bagian-bagian yang masing-masing mempunyai fungsi khusus. Seluruh bagian dalam merupakan ruangan lepas, terkecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar tergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga, dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas.
Lanjar yang terletak pada bagian dinding sebelah belakang biasa digunakan untuk kamar-kamar. Jumlah kamar tergantung pada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Kamar itu umumnya kecil, sekadar berisi sebuah tempat tidur, lemari atau peti dan sedikit ruangan untuk bergerak. Kamar memang digunakan untuk tidur dan berganti pakaian saja. Kamar itu tidak mungkin dapat digunakan untuk keperluan lain, karena keperluan lain harus menggunakan ruang atau tempat yang terbuka. Atau dapat diartikan bahwa dalam kehidupan yang komunalistis tidak ada suatu tempat untuk menyendiri yang memberikan kesempatan pengembangan kehidupan yang individual. Kamar untuk para gadis ialah pada ujung bagian kanan, jika orang menghadap ke bagian belakang. Kamar yang di ujung kiri, biasanya digunakan pengantin baru atau pasangan suami istri yang paling muda. Meletakkan mereka di sana agar mereka bisa terhindar dari hingar-bingar kesibukan dalam rumah. Kalau rumah mempunyai anjung, maka anjung sebelah kanan merupakan kamar para gadis. Sedangkan anjung sebelah kiri digunakan sebagai tempat kehormatan bagi penghulu pada waktu dilangsungkan berbagai upacara. Pada waktu sehari-harii anjung bagian kin itu digunakan untuk meletakkan peti-peti penyimpanan barang berharga milik kaum.
Lanjar kedua merupakan bagian yang digunakan sebagai tempat khusus penghuni kamar. Misalnya, tempat mereka makan dan menanti tamu masing masing. Luasnya seluas lanjar dan satu ruang yang berada tepat di hadapan kamar mereka.
Lanjar ketiga merupakan lanjar tengah pada rumah berlanjar empat dan merupakan lanjar tepi pada rumah belanjar tiga. Sebagai lanjar tengah, ia digunakan untuk tempat menanti tamu penghuni kamar masing-masing yang berada di ruang itu. Kalau tamu itu dijamu makan, di sanalah mereka ditempatkan. Tamu akan makan bersama dengan penghuni kamar serta ditemani seorang dua perempuan tua yang memimpin rumah tangga itu. Perempuan lain yang menjadi ahli rumah tidak ikut makan. Mereka hanya duduk-duduk di lanjar kedua menemani dengan senda gurau. Kalau di antara tamu itu ada laki-laki, maka mereka didudukkan di sebelah bagian dinding depannya, di sebelah bagian ujung rumah. Sedangkan ahli rumah laki-laki yang menemani nya berada di bagian pangkal rumah. Sedangkan ahli rumah laki-laki yang menemaninya berada di bagian pangkal rumah. Pengertian ujung rumah di sini ialah kedua ujung rumah. Pangkal rumah ialah di bagian tengah, sesuai dengan letak tiang tua, yang lazimnya menupakan tiang yang paling tengah.
Lanjar tepi, yaitu yang terletak di bagian depan dinding depan, merupakan lanjar terhormat yang lazimnya digunakan sebagai tempat tamu laki-laki bila diadakan perjamuan.
Ruang rumah gadang pada umumnya terdiri dari tiga sampai sebelas lanjar. Fungsinya selain untuk menentukan kamar tidur dengan wilayahnya juga sebagai pembagi atas tiga bagian, yakni bagian tengah, bagian kiri, dan bagian kanan, apabila rumah gadang itu mempunyai tangga di tengah, baik yang terletak di belakang maupun di depan. Bagian tengah digunakan untuk tempat jalan dari depan ke belakang. Bagian sebelah kiri atau kanan digunakan sebagai tempat duduk dan makan, baik pada waktu sehari-hari maupun pada waktu diadakan perjamuan atau bertamu. Ruang rumah gadang surambi papek yang tangganya di sebuah sisi rumah terbagi dua, yakni ruang ujung atau ruang di ujung dan ruang pangka atau ruang di pangka (pangka = pangkal). Dalam bertamu atau perjamuan, ruang di ujung tempat tamu, sedangkan ruang di pangkal tempat ahli rumah beserta kerabatnya yang menjadi si pangkal (tuan rumah).
Kolong rumah gadang sebagai tempat menyimpan alat-alat pertanian dan atau juga tempat perempuan bertenun. Seluruh kolong ditutup dengan ruyung yang berkisi-kisi jarang.
Tata Hidup dan Pergaulan dalam Rumah Gadang
Rumah gadang sangat dimuliakan, bahkan dipandang suci. Oleh karena itu, orang yang mendiaminya mempunyai darah turunan yang murni dan kaum yang bermartabat. Stelsel matrilineal yang dianut memberi cukup peluang bagi penyegaran darah turunan ahli rumah bersangkutan, yakni memberi kemungkinan bagi pihak perempuan untuk memprakarsai suatu perkawinan dengan cara meminang seorang laki-laki pilihan. Laki-laki pilihan ditentukan kekayaannya, ilmunya dan atau jabatannya. Oleh karena jabatan penghulu itu sangat terbatas dan ditentukan dengan cara “patah tumbuh, hilang berganti”, maka orang lain akan lebih menumpu ke arah memperoleh ilmu atau kekayaan.
Sebagai perbendaharaan kaum yang dimuliakan dan dipandang suci, maka setiap orang yang naik ke rumah gadang akan mencuci kakinya lebih dahulu di bawah tangga. Di situ disediakan sebuah batu ceper yang lebar yang disebut batu telapakan, sebuah tempat air yang juga dan batu yang disebut cibuk meriau, serta sebuah timba air dari kayu yang bernama taring berpanto.
Perempuan yang datang bertamu akan berseru di halaman menanyakan apakah ada orang di rumah. Kalau yang datang laki-laki, ia akan mendeham lebih dahulu di halaman sampai ada sahutan dan atas rumah. Laki-laki yang boleh datang ke rumah itu bukanlah orang lain. Mereka adalah ahli rumah itu sendiri, mungkin mamak rumah, mungkin orang semenda, atau laki-laki yang lahir di rumah itu sendiri yang tempat tinggalnya di rumah lain. Jika yang datang bertamu itu tungganai, ia didudukkan di lanjar terdepan pada ruang sebelah ujung di hadapan kamar gadis-gadis. Kalau yang datang itu ipar atau besan, mereka ditempatkan di lanjar terdepan tepat di hadapan kamar istri laki-laki yang menjadi kerabat tamu itu. Kalau yang datang itu ipar atau besan dari perkawinan kaum laki-laki di rumah itu, tempatnya pada ruang di hadapan kamar para gadis di bagian lanjar tengah. Waktu makan, ahli rumah itu tidak serentak. Perempuan yang tidak bersuami makan di ruangan dekat dapur. Perempuan yang bersuami makan bersama suami masing-masing di ruang yang tepat di hadapan kamarnya sendiri. Kalau banyak orang semenda di atas rumah, maka mereka akan makan di kamar masing-masing. Makan bersama bagi ahli rumah itu hanya bisa terjadi pada waktu kenduri yang diadakan di rumah itu.
Kalau ada ipar atau besan yang datang bertamu, mereka akan selalu diberi makan. Waktu makan para tamu tidaklah ditentukan. Pokoknya semua tamu harus diberi makan sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing. Yang menemani tamu pada waktu makan ialah kepala rumah tangga, yaitu perempuan yang dituakan di rumah itu. Perempuan yang menjadi istri saudara atau anak laki-laki tamu itu bertugas melayani. Sedangkan perempuan perempuan lain hanya duduk menemani tamu yang sedang makan itu. Mereka duduk pada lanjar bagian dinding kamar.
Para tamu datang pada waktu tertentu, lazimnya pada hari baik bulan baik, umpamanya pada hari yang dimuliakan seperti hari-hari besar Islam atau dalam hal urusan perkawinan. Kaum keluarga sendiri yang datang untuk mengikuti permufakatan tentang berbagai hal tidak diberi makan. Hanya sekadar minum dengan kue kecil. Bertamu di luar hal itu dinamakan bertandang sekadar untuk berbincang-bincang melepas rindu antara orang bersaudara atau bersahabat.
Orang laki-laki yang ingin membicarakan suatu hal dengan ahli rumah yang laki-laki, seperti semenda atau mamak rumah itu, tidak lazim melakukannya dalam rumah gadang. Pertemuan antara laki-laki tempatnya di mesjid atau surau, di pemedanan atau gelanggang, di balai atau di kedai. Adalah janggal kalau tamu laki-laki dibawa berbincang-bincang di rumah kediaman sendiri.
Tata Cara Mendirikan Rumah Gadang
Sebagai milik bersama, rumah gadang dibangun di atas tanah kaum cara bergotong-royong sesama mereka serta dibantu kaum yang lain. Ketentuan adat menetapkan bahwa rumah gadang yang bergonjong empat dan selebihnya hanya boleh didirikan pada perkampungan yang berstatus nagari atau koto. Di perkampungan yang lebih kecil, seperti dusun atau lainnya, hanya boleh didirikan rumah yang bergonjong dua. Di teratak tidak boleh didirikan rumah yang bergonjong.
Himpunan orang sekaum yang lebih kecil dan suku, seperti kaum sepayung, kaum seperut, atau kaum seindu, dapat pula mendirikan rumah gadang masing-masing.
Pendirian rumah gadang itu dimulai dengan permufakatan orang yang sekaum. Dalam mufakat itu dikajilah patut tidaknya maksud itu dilaksanakan, jika dilihat dari kepentingan mereka dan ketentuan adat. Juga dikaji letak yang tepat serta ukurannya serta kapan dimulai mengerjakannya. Hasil mufakat itu disampaikan kepada penghulu suku. Kemudian penghulu suku inilah yang menyampaikan rencana mendirikan rumah gadang itu kepada penghulu suku yang lain.
Semua bahan yang diperlukan, seperti kayu dan ijuk untuk atap, diambil dari tanah ulayat kaum oleh ahlinya. Setelah kayu itu ditebang dan dipotong menurut ukurannya, lalu seluruh anggota kaum secara beramai-ramai membawanya ke tempat rumah gadang itu akan didirikan. Orang-orang dari kaum dan suku lain akan ikut membantu sambil membawa alat bunyi-bunyian untuk memenahkan suasana. Sedangkan kaum perempuan membawa makanan. Peristiwa ini disebut acara maelo kayu (menghela kayu).
Pekerjaan mengumpulkan bahan akan memakan waktu yang lama. Kayu untuk tiang dan untuk balok yang melintang terlebih dahulu direndam ke dalam lunau atau lumpur yang airnya terus berganti agar kayu itu awet dan tahan rayap. Demikian pula bambu dan ruyung yang akan digunakan. Sedangkan papan dikeringkan tanpa kena sinar matahari.
Bila bahan sudah cukup tersedia, dimulailah mancatak tunggak tuo, yaitu perkerjaan yang pertama membuat tiang utama. Kenduri pun diadakan pula khusus untuk hal ini. Sejak itu mulailah para ahli bekerja menurut kemampuan masing-masing. Tukang yang dikatakan sebagai ahli ialah tukang yang dapat memanfaatkan sifat bahan yang tersedia menurut kondisinya, Indak tukang mambuang kayu (tidak tukang membuang kayu), kata pituah mereka. Sebab, setiap kayu ada manfaatnya dan dapat digunakan secara tepat, seperti ungkapan berikut ini.
Nan kuaik ka jadi tonggak, Nan luruih jadikan balabeh, Nan bungkuak ambiak ka bajak, Nan lantiak jadi bubuangan, Nan satampok ka papan tuai, Panarahan ka jadi kayu api, Abunyo ambiak ka pupuak.
Maksudnya :
Yang kukuh akan jadi tonggak, Yang lurus jadikan penggaris, Yang bungkuk gunakan untuk bajak, Yang lentik dijadikan bubungan, Yang setapak jadikan papan tuas, Penarahannya akan jadi kayu api, Abunya gunakan untuk pupuk.
Selanjutnya pada setiap pekerjaan yang memerlukan banyak tenaga, seperti ketika batagak tunggak (menegakkan tiang), yaitu pekerjaan mendirikan seluruh tiang dan merangkulnnya dengan balok-balok yang tersedia, diadakan pula kenduri dengan maimbau (memanggil) semua orang yang patut diundang. Demikian pula pada waktu manaikkan kudo-kudo (menaikkan kuda-kuda) kenduri pun diadakan lagi dengan maksud yang sama.
Apabila rumah itu selesai diadakan lagi perjamuan manaiki rumah (menaiki rumah) dengan menjamu semua orang yang telah ikut membantu selama ini. Pada waktu perjamuan ini semua tamu tidak membawa apa pun karena perjamuan merupakan suatu upacara syukuran dan terima kasih kepada semua orang.
Ukiran
Semua dinding rumah gadang dari papan, terkecuali dinding bagian belakang dibuat dari bambu. Papan dinding dipasang vertikal. Pada pintu dan jendela serta pada setiap persambungan papan pada paran dan bendul terdapat papan bingkai yang lurus dan juga berelung. Semua papan yang menjadi dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran, sehingga seluruh dinding penuh ukiran. Ada kalanya tiang yang tegak di tengah diberi juga sebaris ukiran pada pinggangnya.
Sesuai dengan ajaran falsafah Minangkabau yang bersumber dari alam terkembang, sifat ukiran nonfiguratif, tidak melukiskan lambang-lambang atau simbol-simbol. Pada dasarnya ukiran itu merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis nielingkar atau persegi. Motifnya tumbuhan merambat yang disebut akar yang berdaun, berbunga, dan berbuah. Pola akar itu berbentuk Iingkaran. Akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan, dan juga sambung-menyambung. Cabang atau ranting akar itu berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas, dan ke bawah. Ada keluk yang searah di samping ada yang berlawanan. Seluruh bidang diisi dengan daun, bunga, dan buah.
OIeh karena rambatan akar itu bervariasi banyak, maka masing-masing diberi nama. Pemberian nama itu tergantung pada garis yang dominan pada ukiran itu. Pada dasarnya nama yang diberikan ialah seperti berikut.
1. Lingkaran yang berjajar dinamakan ula gerang karena lingkaran itu menimbulkan asosiasi pada bentuk ular yang sedang melingkar.
2. Lingkaran yang berkaitan dinamakan saluak (seluk) karena bentuknya yang berseluk atau berhubungan satu sama lain.
3. Lingkaran yang berjalin dinamakan jalo (jala) atau tangguak (tangguk) atau jarek (jerat) karena menyerupai jalinan benang pada alat penangkap hewan.
4. Lingkaran yang sambung-bersambung dinamakan aka (akar), karena bentuknya merambat. Akar ganda yang paralel dinamakan kambang (kembang = mekar).
5. Lingkaran bercabang atau beranting yang terputus dinamakan kaluak (keluk).
6. Lingkaran yang bertingkat dinamakan salompek (selompat). Ukuran atau bentuk tingkatan lingkaran itu sama atau tidak sama.
Dari motif pokok itu dapat dibuat berbagai variasi antara lain ialah seperti berikut.
1. Mengkombinasikannya motif segi empat.2. Menyusun dalam kombinasi rangkap.3. Memperbesar atau mempertebal bagian-bagian hingga lebih menonjol dari yang lain4. Memutar atau membalikkan komposisi.
Di samping motif akar dengan berbagai pola itu, ada lagi motif akar yang tidak memakai pola. Ukirannya mengisi seluruh bidang yang salah satu bagian sisinya bergaris relung.Motif lainnya ialah motif geometri bersegi tiga, empat, dan genjang. Motif ini dapat dicampur dengan motif akar, juga bidangnya dapat diisi ukiran atau dihias ukiran pada bagian luarnya.
Motif daun, bunga, atau buah dapat juga diukir tersendiri, secara benjajaran.Ada kalanya dihubungkan oleh akar yang halus, disusun berlapis dua, atau berselang-seling berlawanan arah, atau berselang-seling dengan motif lainnya.
Oleh karena banyak variasi dan kombinasi, serta banyak pula komposisinya yang saling berbeda maka masing-masing diberi nama yang berfungsi sebagai kode untuk membedakan yang satu dengan yang lain.
Nama bagi motif daun, bunga, dan buah boleh dikatakan semua menggunakan nama daun, bunga, dan buah yang dipakai sebagai model ukiran, seperti daun sirih, sakek (anggrek), kacang, dan bodi. Dalam hal bunga ialah cengkih, mentimun, lada, kundur, kapeh. Dalam hal buah ialah manggis, keladi, rumbia, rambai. Ada kalanya hiasan ukiran pengganti bunga atau buah itu dipakai motif dan benda perhiasan lainnya, seperti manik, jambul, mahkota, tirai-tirai, bintang; dan kipas. Ada kalanya pula motif daun dinama dengan nama hewan, seperti itik, tetadu, kumbang, dan bada (ikan).
Nama ukiran geometri bersegitiga pada umumnya disebut dengan pucuk rebung atau si tinjau lauik. Nama pucuk rebung diambil karena pucuk rebung memang runcing seperti segitiga dan si tinjau laut mengingatkan pada atap rumah gadang dengan nama yang sama jika dilihat dari samping. Ukiran segi empat dinamakan siku. Ukiran segi empat genjang dinamakan sayat gelamai karena bentuknya seperti potongan gelamai yang disayat genjang.
Nama yang diberikan pada ukiran yang bermotif akar disesuaikan dengan polanya. Setiap nama umumnya terdiri dari dua kata, seperti akar cina (akar terikat), akar berpilin, akar berayun, akar segagang, akar dua gagang. Akar dua gagang lazim pula disebut kembang manis. Akar yang berjalin dinamakan seperti alat penangkap hewan, yakni seperti jala terkakar (terhampar), jerat terkakar atau tangguk terkakar. Akar yang saling berkaitan dinamakan seluk laka karena bentuknya sebagai laka yang berupa alat untuk tempat belanga yang berisi masakan.
Nama ukiran yang dibuat bervanasi dengan berbagai kombinasi dan perubahan komposisi dan penonjolan bagian-bagiannya umumnya memakai nama hewan, seperti tupai, kucing, harimau, kuda, ular dan rama-rama. Nama hewan itu Iazimnya ditambah dengan suatu kata yang melukiskan keadaan, seperti rama-rama bertangkap, kucing tidur, kijang balari, gajah badorong, kelelawar bergayut.
Penempatan motif ukiran tergantung pada susunan dan letak papan pada dinding rumah gadang. Pada papan yang tersusun secara vertikal, motif yang digunakan ialah ukiran akar. Pada papan yang dipasang secara horisontal, digunakan ukiran geometris. Pada bingkai pintu, jendela, dan pelapis sambungan antara tiang dan bendul serta paran, dipakai ukiran yang bermotif lepas. Sedangkan pada bidang yang salah satu sisinya berelung, dipakai motif ukiran akar bebas. Ada kalanya dipakai motif kumbang, mahkota, dan lain lainnya sebagai hiasan pusat.
Pemberian nama tampaknya tidak mempunyai pola yang jelas. Umpamanya, motif yang sama tetapi berbeda jenis ukiran yang mengisi bidangnya akan memperoleh nama yang tidak ada hubungannya sama sekali, seperti antara singo mandongkak (singa mendongkak) dan pisang sasikek (pisang sesisir). Ukiran yang bernama kaluak paku (keluk pakis) jika disalin melalui lantunan kaca akan berubah namanya menjadi kijang balari. Demikian pula ukiran yang bernama ramo-ramo (rama-rama) jika disalin melalui lantunan kaca namanya berubah menjadi tangguak lamah (tangguk lemah).
nb.Bagi orang minang yang peranakan atau yang tinggal sudah lama di Rantau tidak usahlah malu dengan adat/warisan leluhurnya.justru kita harus bangga dilahirkan sebagai anak2 orang minangkabau.
Rumah Gadang Minangkabau merupakan rumah tradisional hasil kebudayaan suatu suku bangsa yang hidup di daerah Bukit Barisan di sepanjang pantai barat Pulau Sumatera bagian tengah. Sebagaimana halnya rumah di daerah katulistiwa, rumah gadang dibangun di atas tiang (panggung), mempunyai kolong yang tinggi. Atapnya yang lancip merupakan arsitektur yang khas yang membedakannya dengan bangunan suku bangsa lain di daerah garis katulistiwa itu.
Sebagai suatu kreatifitas kebudayaan suku bangsa, ia dinyatakan dengan rasa bangga, dengan bahasa yang liris, serta metafora yang indah dan kaya. Juga ia diucapkan dengan gaya yang beralun pada pidato dalam situasi yang tepat.
Bunyinya ialah sebagai berikut :
Rumah gadang sambilan ruang,salanja kudo balari, sapakiak budak maimbau,sajariah kubin malayang. Gonjongnyo rabuang mambasuik, antiang-antiangnyo disemba alang.
Parabuangnyo si ula gerang, batatah timah putiah, barasuak tareh limpato, Cucurannyo alang babega, saga tasusun bak bada mudiak.
Parannyo si ula gerang batata aia ameh, salo-manyalo aia perak. Jariaunyo puyuah balari, indah sungguah dipandang mato, tagamba dalam sanubari.
Dindiang ari dilanja paneh. Tiang panjang si maharajo lelo, tiang pangiriang mantari dalapan, tiang dalapan, tiang tapi panagua jamu, tiang dalam puti bakabuang.
Ukiran tonggak jadi ukuran, batatah aia ameh, disapuah jo tanah kawi, kamilau mato mamandang.
dama tirih bintang kemarau. Batu tala pakan camin talayang. cibuak mariau baru sudah. Pananjua parian bapantua.
Halaman kasiak tabantang, pasia lumek bagai ditintiang.Pakarangan bapaga hiduik, pudiang ameh paga lua, pudiang perak paga dalam, batang kamuniang pautan kudo,Lasuangnyo batu balariak, alunyo linpato bulek, limau manih sandarannyo.
Gadih manumbuak jolong gadang, ayam mancangkua jolong turun, lah kanyang baru disiuahkan, Jo panggalan sirantiah dolai, ujuangnyo dibari bajambua suto.
Ado pulo bakolam ikan, aianyo bagai mato kuciang, lumpua tido lumuikpun tido, ikan sapek babayangan, ikan gariang jinak-jinak, ikan puyu barandai ameh.
Rangkiangnyo tujuah sajaja, di tangah si tinjau lauik,panjapuik dagang lalu, paninjau pancalang masuak, di kanan si bayau bayau, lumbuang makan patang pagi, di kiri si tangguang lapa, tampek si miskin salang tenggang, panolong urang kampuang di musim lapa gantuang tungku, lumbuang Kaciak salo nanyalo, tampek manyimpan padi abuan.
Maksudnya :
Rumah gadang sembilan ruang, selanjar kuda berlari, sepekik budak menghimbau, sepuas limpato makan, sejerih kubin melayang. Gonjongnya rebung membersit, anting-anting disambar elang.
Perabungnya si ular gerang, bertatah timah putih, berasuk teras limpato. Cucurannya elang berbegar, sagar tersusun bagai badar mudik.
Parannya bak si bianglala, bertatah air emas, sela-menyela air perak. Jeriaunya puyuh berlari,indah sungguh dipandang mata, tergambar dalam sanubari.
Dinding ari dilanjar panas. Tiang panjang si maharajalela, tiang pengiring menteri delapan, tiang tepi penegur tamu, tiang dalam putri berkabung.
Ukiran tonggak jadi ukuran, bertatah air emas,disepuh dengan tanah kawi,kemilau mata memandang.
Damar tiris bintang kemarau. Batu telapakan cermin terlayang, Cibuk meriau baru sudah, penanjur perian ber pantul.
Halaman kersik terbentang, pasir lumat bagai ditinting. Pekarangan berpagar hidup, puding emas pagar luar, puding merah pagar dalam.Pohon kemuning pautan kuda. Lesungnya batu berlari,alunya limpato bulat.Limau manis sandarannya.
Gadis menumbuk jolong gadang, ayam mencangkur jolong turun, sudah kenyang baru dihalaukan, dengan galah sirantih dolai, ujungnya diberi berjambul sutera.
Ada pula kolam ikan, airnya bagai mata kucing, berlumpur tidak berlumut pun tidak, ikan sepat berlayangan, ikan garing jinak-jinak, ikan puyu beradai emas.
Rangkiangnya tujuh sejajar, di tengah sitinjau laut, penjemput dagang lalu, peninjau pencalang masuk, di kanan si bayau-bayau, lumbung makan petang pagi, di kiri si tanggung lapar, tempat si miskin selang tenggang,penolong orang kampung, di musim lapar gantung tungku, lumbung kecil sela-menyela, tempat menyimpan padi abuan.
Arsitektur
Masyarakat Minangkabau sebagai suku bangsa yang nenganut falsafah “alam takambang jadi guru”, mereka menyelaraskan kehidupan pada susunan alam yang harmonis tetapi juga dinamis, sehingga kehidupannya menganut teori dialektis, yang mereka sebut “bakarano bakajadian” (bersebab dan berakibat) yang menimbulkan berbagai pertentangan dan keseimbangan. Buah karyanya yang menumental seperti rumah gadang itu pun mengandung rumusan falsafah itu. Bentuk dasarnya, rumah gadang itu persegi empat yang tidak simetris yang mengembang ke atas. Atapnya melengkung tajam seperti bentuk tanduk kerbau, sedangkan lengkung badan rumah Iandai seperti badan kapal. Bentuk badan rumah gadang yang segi empat yang membesar ke atas (trapesium terbalik) sisinya melengkung kedalam atau rendah di bagian tengah, secara estetika merupakan komposisi yang dinamis. Jika dilihat pula dari sebelah sisi bangunan (penampang), maka segi empat yang membesar ke atas ditutup oleh bentuk segi tiga yang juga sisi segi tiga itu melengkung ke arah dalam, semuanya membentuk suatu keseimbangan estetika yang sesuai dengan ajaran hidup mereka. Sebagai suku bangsa yang menganut falsafah alam, garis dan bentuk rumah gadangnya kelihatan serasi dengan bentuk alam Bukit Barisan yang bagian puncaknya bergaris lengkung yang meninggi pada bagian tengahnya serta garis lerengnya melengkung dan mengembang ke bawah dengan bentuk bersegi tiga pula. Jadi, garis alam Bukit Barisan dan garis rumah gadang merupakan garis-garis yang berlawanan, tetapi merupakan komposisi yang harmonis jika dilihat secara estetika. Jika dilihat dan segi fungsinya, garis-garis rumah gadang menunjukkan penyesuaian dengan alam tropis. Atapnya yang lancip berguna untuk membebaskan endapan air pada ijuk yang berlapis-lapis itu, sehingga air hujan yang betapa pun sifat curahannya akan meluncur cepat pada atapnya. Bangun rumah yang membesar ke atas, yang mereka sebut silek, membebaskannya dan terpaan tampias. Kolongnya yang tinggi memberikan hawa yang segar, terutama pada musim panas. Di samping itu rumah gadang dibangun berjajaran menurut arah mata angin dari utara ke selatan guna membebaskannya dari panas matahari serta terpaan angin. Jika dilihat secara keseluruhan, arsitektur rumah gadang itu dibangun menurut syarat-syarat estetika dan fungsi yang sesuai dengan kodrat atau yang mengandung nilai-nilai kesatuan, kelarasan, keseimbangan, dan kesetangkupan dalam keutuhannya yang padu.
Ragam Rumah Gadang
Rumah gadang mempunyai nama yang beraneka ragam menurut bentuk, ukuran, serta gaya kelarasan dan gaya luhak. Menurut bentuknya, ia lazim pula disebut rumah adat, rumah gonjong atau rumah bagonjong (rumah bergonjong), karena bentuk atapnya yang bergonjong runcing menjulang. Jika menurut ukurannya, ia tergantung pada jumlah lanjarnya. Lanjar ialah ruas dari depan ke belakang. Sedangkan ruangan yang berjajar dari kiri ke kanan disebut ruang. Rumah yang berlanjar dua dinamakan lipek pandan (lipat pandan). Umumnya lipek pandan memakai dua gonjong. Rumah yang berlanjar tiga disebut balah bubuang (belah bubung). Atapnya bergonjong empat. Sedangkan yang berlanjar empat disebut gajah maharam (gajah terbenam). Lazimnya gajah maharam memakai gonjong enam atau lebih. Menurut gaya kelarasan, rumah gadang aliran Koto Piliang disebut sitinjau lauik. Kedua ujung rumah diberi beranjung, yakni sebuah ruangan kecil yang lantainya lebih tinggi. Karena beranjung itu, ia disebut juga rumah baanjuang (rumah barpanggung). Sedangkan rumah dan aliran Bodi Caniago lazimnya disebut rumah gadang. Bangunannya tidak beranjung atau berserambi sebagai mana rumah dan aliran Koto Piliang, seperti halnya yang terdapat di Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Koto.
Bodicaniago Surambi papek (Ragam Luhak Agam)
Bodicaniago Rajo Babandiang (Ragam Luhak Limo Puluah Koto)
Koto Piliang Sitingjau Lauik (Ragam Luhak Tanah Datar)
Rumah kaum yang tidak termasuk aliran keduanya, seperti yang tertera dalam kisah Tambo bahwa ada kaum yang tidak di bawah pimpinan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang, yakni daRI aliran Datuk Nan Sakelap Dunia di wilayah Lima Kaum, memakai hukumnya sendiri.
Kedudukan kaum ini seperti diungkapkan pantun sebagai berikut :
Pisang si kalek-kalek utan, Pisang tambatu nan bagatah. Koto Piliang inyo bukan, Bodi Caniago inyo antah.
Maksudnya :
Pisang si kalek-kalek hutan, Pisang tambatu yang bergetah, Koto Piliang mereka bukan Bodi Caniago mereka antah.
Rumah gadang kaum inii menurut tipe rumah gadang Koto Piliang, yaitu memakai anjung pada kedua ujung rumahnya. Sedangkan sistem pemerintahannya menurut aliran Bodi Caniago. Rumah gadang dari tuan gadang di Batipuh yang bergelar Harimau Campo Koto Piliang yang bertugas sebagai panglima, disebut rumah batingkok (rumah bertingkap). Tingkapnya terletak di tengah puncak atap. Mungkin tingkap itu digunakan sebagai tempat mengintip agar panglima dapat menyiapkan kewaspadaannya.
Rumah Batingkok (Bertingkat) yang pernah ada di Baso pada abad yang lalu
Rumah di daerah Cupak dan Salayo, di Luhak Kubuang Tigo Baleh yang merupakan wilayah kekuasaan raja, disebut rumah basurambi (rumah berserambi). Bagian depannya diberi serambi sebagai tempat penghulu menerima tamu yang berurusan dengannya.
Jika menurut gaya luhak, tiap luhak mempunyai gaya dengan namanya yang tersendiri. Rumah gadang Luhak Tanah Datar dinamakan gajah maharam karena besarnya. Sedangkan modelnya rumah baanjuang karena luhak itu menganut aliran Kelarasan Koto Piliang. Rumah gadang Luhak Agam dinamakan surambi papek (serambi pepat) yang bentuknya bagai dipepat pada kedua belah ujungnya. Sedangkan rumah gadang Luhak Lima Puluh Koto dinamakan rajo babandiang (raja berbanding) yang bentuknya seperti rumah Luhak Tanah Datar yang tidak beranjung).
Pada umumnya rumah gadang itu mempunyai satu tangga, yang terletak di bagian depan. Letak tangga rumah gadang rajo babandiang dari Luhak Lima Puluah Koto di belakang. Letak tangga rumah gadang surambi papek dari Luhak Agam di depan sebelah kiri antara dapur dan rumah. Rumah gadang si tinjau lauik atau rumah baanjuang dan tipe Koto Piiang mempunyai tangga di depan dan di belakang yang letaknya di tengah. Rumah gadang yang dibangun baru melazimkan letak tangganya di depan dan di bagian tengah.
Dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet pada dinding. Tangga rumah gadang rajo babandiang terletak antara bagian dapur dan rumah. Dapur rumah gadang surambi papek, dibangun terpisah oleh suatu jalan untuk keluar masuk melalui tangga rumah.
Fungsi Rumah Gadang
Rumah gadang dikatakan gadang (besar) bukan karena fisiknya yang besar, melainkan karena fungsinya. Dalam nyanyian atau pidato dilukiskan juga fungsi rumah gadang yang antara lain sebagai berikut.
Rumah gadang basa batuah, Tiang banamo kato hakikaik, Pintunyo basamo dalia kiasannya, Banduanyo sambah-manyambah, Bajanjang naiak batanggo turun, Dindiangnyo panutuik malu, Biliaknyo aluang bunian.
Maksudnya :
Rumah gadang besar bertuah, Tiangnya bernama kata hakikat, Pintunya bernama dalil kiasan, Bendulnya sembah-menyembah, Berjenjang naik, bertangga turun, Dindingnya penutup malu, Biliknya alung bunian.
Selain sebagai tempat kediaman keluarga, fungsi rumah gadang juga sebagai lambang kehadiran suatu kaum serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan, seperti tempat bermufakat dan melaksanakan berbagai upacara. Bahkan juga sebagai tempat merawat anggota keluarga yang sakit.
Sebagai tempat tinggal bersama, rumah gadang mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Setiap perempuan yang bersuami memperoleh sebuah kamar. Perempuan yang termuda memperoleh kamar yang terujung. Pada gilirannya ia akan berpindah ke tengah jika seorang gadis memperoleh suami pula. Perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Sedangkan gadis remaja memperoleh kamar bersama pada ujung yang lain. Sedangkan laki-laki tua, duda, dan bujangan tidur di surau milik kaumnya masing-masing. Penempatan pasangan suami istri baru di kamar yang terujung, ialah agar suasana mereka tidak terganggu kesibukan dalam rumah. Demikian pula menempatkan perempuan tua dan anak-anak pada suatu kamar dekat dapur ialah karena keadaan fisiknya yang memerlukan untuk turun naik rumah pada malam hari.
Sebagai tempat bermufakatan, rumah gadang merupakan bangunan pusat dari seluruh anggota kaum dalam membicarakan masalah mereka bersama.
Sebagai tempat melaksanakan upacara, rumah gadang menjadi penting dalam meletakkan tingkat martabat mereka pada tempat yang semestinya. Di sanalah dilakukan penobatan penghulu. Di sanalah tempat pusat perjamuan penting untuk berbagai keperluan dalam menghadapi orang lain dan tempat penghulu menanti tamu-tamu yang mereka hormati.
Sebagai tempat merawat keluarga, rumah gadang berperan pula sebagai rumah sakit setiap laki-laki yang menjadi keluarga mereka. Seorang laki-laki yang diperkirakan ajalnya akan sampai akan dibawa ke rumah gadang atau ke rumah tempat ia dilahirkan. Dan rumah itulah ia akan dilepas ke pandam pekuburan bila ia meninggal. Hal ini akan menjadi sangat berfaedah, apabila laki-laki itu mempunyai istri lebih dari seorang, sehingga terhindarlah perseng ketaan antara istri-istrinya.
Umumnya rumah gadang didiami nenek, ibu, dan anak-anak perempuan. Bila rumah itu telah sempit, rumah lain akan dibangun di sebelahnya. Andai kata rumah yang akan dibangun itu bukan rumah gadang, maka lokasinya di tempat yang lain yang tidak sederetan dengan rumah gadang.
Fungsi Bagian Rumah
Rumah gadang terbagi atas bagian-bagian yang masing-masing mempunyai fungsi khusus. Seluruh bagian dalam merupakan ruangan lepas, terkecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar tergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga, dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas.
Lanjar yang terletak pada bagian dinding sebelah belakang biasa digunakan untuk kamar-kamar. Jumlah kamar tergantung pada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Kamar itu umumnya kecil, sekadar berisi sebuah tempat tidur, lemari atau peti dan sedikit ruangan untuk bergerak. Kamar memang digunakan untuk tidur dan berganti pakaian saja. Kamar itu tidak mungkin dapat digunakan untuk keperluan lain, karena keperluan lain harus menggunakan ruang atau tempat yang terbuka. Atau dapat diartikan bahwa dalam kehidupan yang komunalistis tidak ada suatu tempat untuk menyendiri yang memberikan kesempatan pengembangan kehidupan yang individual. Kamar untuk para gadis ialah pada ujung bagian kanan, jika orang menghadap ke bagian belakang. Kamar yang di ujung kiri, biasanya digunakan pengantin baru atau pasangan suami istri yang paling muda. Meletakkan mereka di sana agar mereka bisa terhindar dari hingar-bingar kesibukan dalam rumah. Kalau rumah mempunyai anjung, maka anjung sebelah kanan merupakan kamar para gadis. Sedangkan anjung sebelah kiri digunakan sebagai tempat kehormatan bagi penghulu pada waktu dilangsungkan berbagai upacara. Pada waktu sehari-harii anjung bagian kin itu digunakan untuk meletakkan peti-peti penyimpanan barang berharga milik kaum.
Lanjar kedua merupakan bagian yang digunakan sebagai tempat khusus penghuni kamar. Misalnya, tempat mereka makan dan menanti tamu masing masing. Luasnya seluas lanjar dan satu ruang yang berada tepat di hadapan kamar mereka.
Lanjar ketiga merupakan lanjar tengah pada rumah berlanjar empat dan merupakan lanjar tepi pada rumah belanjar tiga. Sebagai lanjar tengah, ia digunakan untuk tempat menanti tamu penghuni kamar masing-masing yang berada di ruang itu. Kalau tamu itu dijamu makan, di sanalah mereka ditempatkan. Tamu akan makan bersama dengan penghuni kamar serta ditemani seorang dua perempuan tua yang memimpin rumah tangga itu. Perempuan lain yang menjadi ahli rumah tidak ikut makan. Mereka hanya duduk-duduk di lanjar kedua menemani dengan senda gurau. Kalau di antara tamu itu ada laki-laki, maka mereka didudukkan di sebelah bagian dinding depannya, di sebelah bagian ujung rumah. Sedangkan ahli rumah laki-laki yang menemani nya berada di bagian pangkal rumah. Sedangkan ahli rumah laki-laki yang menemaninya berada di bagian pangkal rumah. Pengertian ujung rumah di sini ialah kedua ujung rumah. Pangkal rumah ialah di bagian tengah, sesuai dengan letak tiang tua, yang lazimnya menupakan tiang yang paling tengah.
Lanjar tepi, yaitu yang terletak di bagian depan dinding depan, merupakan lanjar terhormat yang lazimnya digunakan sebagai tempat tamu laki-laki bila diadakan perjamuan.
Ruang rumah gadang pada umumnya terdiri dari tiga sampai sebelas lanjar. Fungsinya selain untuk menentukan kamar tidur dengan wilayahnya juga sebagai pembagi atas tiga bagian, yakni bagian tengah, bagian kiri, dan bagian kanan, apabila rumah gadang itu mempunyai tangga di tengah, baik yang terletak di belakang maupun di depan. Bagian tengah digunakan untuk tempat jalan dari depan ke belakang. Bagian sebelah kiri atau kanan digunakan sebagai tempat duduk dan makan, baik pada waktu sehari-hari maupun pada waktu diadakan perjamuan atau bertamu. Ruang rumah gadang surambi papek yang tangganya di sebuah sisi rumah terbagi dua, yakni ruang ujung atau ruang di ujung dan ruang pangka atau ruang di pangka (pangka = pangkal). Dalam bertamu atau perjamuan, ruang di ujung tempat tamu, sedangkan ruang di pangkal tempat ahli rumah beserta kerabatnya yang menjadi si pangkal (tuan rumah).
Kolong rumah gadang sebagai tempat menyimpan alat-alat pertanian dan atau juga tempat perempuan bertenun. Seluruh kolong ditutup dengan ruyung yang berkisi-kisi jarang.
Tata Hidup dan Pergaulan dalam Rumah Gadang
Rumah gadang sangat dimuliakan, bahkan dipandang suci. Oleh karena itu, orang yang mendiaminya mempunyai darah turunan yang murni dan kaum yang bermartabat. Stelsel matrilineal yang dianut memberi cukup peluang bagi penyegaran darah turunan ahli rumah bersangkutan, yakni memberi kemungkinan bagi pihak perempuan untuk memprakarsai suatu perkawinan dengan cara meminang seorang laki-laki pilihan. Laki-laki pilihan ditentukan kekayaannya, ilmunya dan atau jabatannya. Oleh karena jabatan penghulu itu sangat terbatas dan ditentukan dengan cara “patah tumbuh, hilang berganti”, maka orang lain akan lebih menumpu ke arah memperoleh ilmu atau kekayaan.
Sebagai perbendaharaan kaum yang dimuliakan dan dipandang suci, maka setiap orang yang naik ke rumah gadang akan mencuci kakinya lebih dahulu di bawah tangga. Di situ disediakan sebuah batu ceper yang lebar yang disebut batu telapakan, sebuah tempat air yang juga dan batu yang disebut cibuk meriau, serta sebuah timba air dari kayu yang bernama taring berpanto.
Perempuan yang datang bertamu akan berseru di halaman menanyakan apakah ada orang di rumah. Kalau yang datang laki-laki, ia akan mendeham lebih dahulu di halaman sampai ada sahutan dan atas rumah. Laki-laki yang boleh datang ke rumah itu bukanlah orang lain. Mereka adalah ahli rumah itu sendiri, mungkin mamak rumah, mungkin orang semenda, atau laki-laki yang lahir di rumah itu sendiri yang tempat tinggalnya di rumah lain. Jika yang datang bertamu itu tungganai, ia didudukkan di lanjar terdepan pada ruang sebelah ujung di hadapan kamar gadis-gadis. Kalau yang datang itu ipar atau besan, mereka ditempatkan di lanjar terdepan tepat di hadapan kamar istri laki-laki yang menjadi kerabat tamu itu. Kalau yang datang itu ipar atau besan dari perkawinan kaum laki-laki di rumah itu, tempatnya pada ruang di hadapan kamar para gadis di bagian lanjar tengah. Waktu makan, ahli rumah itu tidak serentak. Perempuan yang tidak bersuami makan di ruangan dekat dapur. Perempuan yang bersuami makan bersama suami masing-masing di ruang yang tepat di hadapan kamarnya sendiri. Kalau banyak orang semenda di atas rumah, maka mereka akan makan di kamar masing-masing. Makan bersama bagi ahli rumah itu hanya bisa terjadi pada waktu kenduri yang diadakan di rumah itu.
Kalau ada ipar atau besan yang datang bertamu, mereka akan selalu diberi makan. Waktu makan para tamu tidaklah ditentukan. Pokoknya semua tamu harus diberi makan sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing. Yang menemani tamu pada waktu makan ialah kepala rumah tangga, yaitu perempuan yang dituakan di rumah itu. Perempuan yang menjadi istri saudara atau anak laki-laki tamu itu bertugas melayani. Sedangkan perempuan perempuan lain hanya duduk menemani tamu yang sedang makan itu. Mereka duduk pada lanjar bagian dinding kamar.
Para tamu datang pada waktu tertentu, lazimnya pada hari baik bulan baik, umpamanya pada hari yang dimuliakan seperti hari-hari besar Islam atau dalam hal urusan perkawinan. Kaum keluarga sendiri yang datang untuk mengikuti permufakatan tentang berbagai hal tidak diberi makan. Hanya sekadar minum dengan kue kecil. Bertamu di luar hal itu dinamakan bertandang sekadar untuk berbincang-bincang melepas rindu antara orang bersaudara atau bersahabat.
Orang laki-laki yang ingin membicarakan suatu hal dengan ahli rumah yang laki-laki, seperti semenda atau mamak rumah itu, tidak lazim melakukannya dalam rumah gadang. Pertemuan antara laki-laki tempatnya di mesjid atau surau, di pemedanan atau gelanggang, di balai atau di kedai. Adalah janggal kalau tamu laki-laki dibawa berbincang-bincang di rumah kediaman sendiri.
Tata Cara Mendirikan Rumah Gadang
Sebagai milik bersama, rumah gadang dibangun di atas tanah kaum cara bergotong-royong sesama mereka serta dibantu kaum yang lain. Ketentuan adat menetapkan bahwa rumah gadang yang bergonjong empat dan selebihnya hanya boleh didirikan pada perkampungan yang berstatus nagari atau koto. Di perkampungan yang lebih kecil, seperti dusun atau lainnya, hanya boleh didirikan rumah yang bergonjong dua. Di teratak tidak boleh didirikan rumah yang bergonjong.
Himpunan orang sekaum yang lebih kecil dan suku, seperti kaum sepayung, kaum seperut, atau kaum seindu, dapat pula mendirikan rumah gadang masing-masing.
Pendirian rumah gadang itu dimulai dengan permufakatan orang yang sekaum. Dalam mufakat itu dikajilah patut tidaknya maksud itu dilaksanakan, jika dilihat dari kepentingan mereka dan ketentuan adat. Juga dikaji letak yang tepat serta ukurannya serta kapan dimulai mengerjakannya. Hasil mufakat itu disampaikan kepada penghulu suku. Kemudian penghulu suku inilah yang menyampaikan rencana mendirikan rumah gadang itu kepada penghulu suku yang lain.
Semua bahan yang diperlukan, seperti kayu dan ijuk untuk atap, diambil dari tanah ulayat kaum oleh ahlinya. Setelah kayu itu ditebang dan dipotong menurut ukurannya, lalu seluruh anggota kaum secara beramai-ramai membawanya ke tempat rumah gadang itu akan didirikan. Orang-orang dari kaum dan suku lain akan ikut membantu sambil membawa alat bunyi-bunyian untuk memenahkan suasana. Sedangkan kaum perempuan membawa makanan. Peristiwa ini disebut acara maelo kayu (menghela kayu).
Pekerjaan mengumpulkan bahan akan memakan waktu yang lama. Kayu untuk tiang dan untuk balok yang melintang terlebih dahulu direndam ke dalam lunau atau lumpur yang airnya terus berganti agar kayu itu awet dan tahan rayap. Demikian pula bambu dan ruyung yang akan digunakan. Sedangkan papan dikeringkan tanpa kena sinar matahari.
Bila bahan sudah cukup tersedia, dimulailah mancatak tunggak tuo, yaitu perkerjaan yang pertama membuat tiang utama. Kenduri pun diadakan pula khusus untuk hal ini. Sejak itu mulailah para ahli bekerja menurut kemampuan masing-masing. Tukang yang dikatakan sebagai ahli ialah tukang yang dapat memanfaatkan sifat bahan yang tersedia menurut kondisinya, Indak tukang mambuang kayu (tidak tukang membuang kayu), kata pituah mereka. Sebab, setiap kayu ada manfaatnya dan dapat digunakan secara tepat, seperti ungkapan berikut ini.
Nan kuaik ka jadi tonggak, Nan luruih jadikan balabeh, Nan bungkuak ambiak ka bajak, Nan lantiak jadi bubuangan, Nan satampok ka papan tuai, Panarahan ka jadi kayu api, Abunyo ambiak ka pupuak.
Maksudnya :
Yang kukuh akan jadi tonggak, Yang lurus jadikan penggaris, Yang bungkuk gunakan untuk bajak, Yang lentik dijadikan bubungan, Yang setapak jadikan papan tuas, Penarahannya akan jadi kayu api, Abunya gunakan untuk pupuk.
Selanjutnya pada setiap pekerjaan yang memerlukan banyak tenaga, seperti ketika batagak tunggak (menegakkan tiang), yaitu pekerjaan mendirikan seluruh tiang dan merangkulnnya dengan balok-balok yang tersedia, diadakan pula kenduri dengan maimbau (memanggil) semua orang yang patut diundang. Demikian pula pada waktu manaikkan kudo-kudo (menaikkan kuda-kuda) kenduri pun diadakan lagi dengan maksud yang sama.
Apabila rumah itu selesai diadakan lagi perjamuan manaiki rumah (menaiki rumah) dengan menjamu semua orang yang telah ikut membantu selama ini. Pada waktu perjamuan ini semua tamu tidak membawa apa pun karena perjamuan merupakan suatu upacara syukuran dan terima kasih kepada semua orang.
Ukiran
Semua dinding rumah gadang dari papan, terkecuali dinding bagian belakang dibuat dari bambu. Papan dinding dipasang vertikal. Pada pintu dan jendela serta pada setiap persambungan papan pada paran dan bendul terdapat papan bingkai yang lurus dan juga berelung. Semua papan yang menjadi dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran, sehingga seluruh dinding penuh ukiran. Ada kalanya tiang yang tegak di tengah diberi juga sebaris ukiran pada pinggangnya.
Sesuai dengan ajaran falsafah Minangkabau yang bersumber dari alam terkembang, sifat ukiran nonfiguratif, tidak melukiskan lambang-lambang atau simbol-simbol. Pada dasarnya ukiran itu merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis nielingkar atau persegi. Motifnya tumbuhan merambat yang disebut akar yang berdaun, berbunga, dan berbuah. Pola akar itu berbentuk Iingkaran. Akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan, dan juga sambung-menyambung. Cabang atau ranting akar itu berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas, dan ke bawah. Ada keluk yang searah di samping ada yang berlawanan. Seluruh bidang diisi dengan daun, bunga, dan buah.
OIeh karena rambatan akar itu bervariasi banyak, maka masing-masing diberi nama. Pemberian nama itu tergantung pada garis yang dominan pada ukiran itu. Pada dasarnya nama yang diberikan ialah seperti berikut.
1. Lingkaran yang berjajar dinamakan ula gerang karena lingkaran itu menimbulkan asosiasi pada bentuk ular yang sedang melingkar.
2. Lingkaran yang berkaitan dinamakan saluak (seluk) karena bentuknya yang berseluk atau berhubungan satu sama lain.
3. Lingkaran yang berjalin dinamakan jalo (jala) atau tangguak (tangguk) atau jarek (jerat) karena menyerupai jalinan benang pada alat penangkap hewan.
4. Lingkaran yang sambung-bersambung dinamakan aka (akar), karena bentuknya merambat. Akar ganda yang paralel dinamakan kambang (kembang = mekar).
5. Lingkaran bercabang atau beranting yang terputus dinamakan kaluak (keluk).
6. Lingkaran yang bertingkat dinamakan salompek (selompat). Ukuran atau bentuk tingkatan lingkaran itu sama atau tidak sama.
Dari motif pokok itu dapat dibuat berbagai variasi antara lain ialah seperti berikut.
1. Mengkombinasikannya motif segi empat.2. Menyusun dalam kombinasi rangkap.3. Memperbesar atau mempertebal bagian-bagian hingga lebih menonjol dari yang lain4. Memutar atau membalikkan komposisi.
Di samping motif akar dengan berbagai pola itu, ada lagi motif akar yang tidak memakai pola. Ukirannya mengisi seluruh bidang yang salah satu bagian sisinya bergaris relung.Motif lainnya ialah motif geometri bersegi tiga, empat, dan genjang. Motif ini dapat dicampur dengan motif akar, juga bidangnya dapat diisi ukiran atau dihias ukiran pada bagian luarnya.
Motif daun, bunga, atau buah dapat juga diukir tersendiri, secara benjajaran.Ada kalanya dihubungkan oleh akar yang halus, disusun berlapis dua, atau berselang-seling berlawanan arah, atau berselang-seling dengan motif lainnya.
Oleh karena banyak variasi dan kombinasi, serta banyak pula komposisinya yang saling berbeda maka masing-masing diberi nama yang berfungsi sebagai kode untuk membedakan yang satu dengan yang lain.
Nama bagi motif daun, bunga, dan buah boleh dikatakan semua menggunakan nama daun, bunga, dan buah yang dipakai sebagai model ukiran, seperti daun sirih, sakek (anggrek), kacang, dan bodi. Dalam hal bunga ialah cengkih, mentimun, lada, kundur, kapeh. Dalam hal buah ialah manggis, keladi, rumbia, rambai. Ada kalanya hiasan ukiran pengganti bunga atau buah itu dipakai motif dan benda perhiasan lainnya, seperti manik, jambul, mahkota, tirai-tirai, bintang; dan kipas. Ada kalanya pula motif daun dinama dengan nama hewan, seperti itik, tetadu, kumbang, dan bada (ikan).
Nama ukiran geometri bersegitiga pada umumnya disebut dengan pucuk rebung atau si tinjau lauik. Nama pucuk rebung diambil karena pucuk rebung memang runcing seperti segitiga dan si tinjau laut mengingatkan pada atap rumah gadang dengan nama yang sama jika dilihat dari samping. Ukiran segi empat dinamakan siku. Ukiran segi empat genjang dinamakan sayat gelamai karena bentuknya seperti potongan gelamai yang disayat genjang.
Nama yang diberikan pada ukiran yang bermotif akar disesuaikan dengan polanya. Setiap nama umumnya terdiri dari dua kata, seperti akar cina (akar terikat), akar berpilin, akar berayun, akar segagang, akar dua gagang. Akar dua gagang lazim pula disebut kembang manis. Akar yang berjalin dinamakan seperti alat penangkap hewan, yakni seperti jala terkakar (terhampar), jerat terkakar atau tangguk terkakar. Akar yang saling berkaitan dinamakan seluk laka karena bentuknya sebagai laka yang berupa alat untuk tempat belanga yang berisi masakan.
Nama ukiran yang dibuat bervanasi dengan berbagai kombinasi dan perubahan komposisi dan penonjolan bagian-bagiannya umumnya memakai nama hewan, seperti tupai, kucing, harimau, kuda, ular dan rama-rama. Nama hewan itu Iazimnya ditambah dengan suatu kata yang melukiskan keadaan, seperti rama-rama bertangkap, kucing tidur, kijang balari, gajah badorong, kelelawar bergayut.
Penempatan motif ukiran tergantung pada susunan dan letak papan pada dinding rumah gadang. Pada papan yang tersusun secara vertikal, motif yang digunakan ialah ukiran akar. Pada papan yang dipasang secara horisontal, digunakan ukiran geometris. Pada bingkai pintu, jendela, dan pelapis sambungan antara tiang dan bendul serta paran, dipakai ukiran yang bermotif lepas. Sedangkan pada bidang yang salah satu sisinya berelung, dipakai motif ukiran akar bebas. Ada kalanya dipakai motif kumbang, mahkota, dan lain lainnya sebagai hiasan pusat.
Pemberian nama tampaknya tidak mempunyai pola yang jelas. Umpamanya, motif yang sama tetapi berbeda jenis ukiran yang mengisi bidangnya akan memperoleh nama yang tidak ada hubungannya sama sekali, seperti antara singo mandongkak (singa mendongkak) dan pisang sasikek (pisang sesisir). Ukiran yang bernama kaluak paku (keluk pakis) jika disalin melalui lantunan kaca akan berubah namanya menjadi kijang balari. Demikian pula ukiran yang bernama ramo-ramo (rama-rama) jika disalin melalui lantunan kaca namanya berubah menjadi tangguak lamah (tangguk lemah).
nb.Bagi orang minang yang peranakan atau yang tinggal sudah lama di Rantau tidak usahlah malu dengan adat/warisan leluhurnya.justru kita harus bangga dilahirkan sebagai anak2 orang minangkabau.
ada ka yang malu ngaku minang..bagi saya minang sangat unik budayanya..
BalasHapus